Oleh : H. HULAIN
Ketua LPK (Lembaga Perlindungan Konsumen) Lotim
Hiruk pikuk persoalan ritel modern sedang ramai dan semakin hangat diperbincangkan oleh berbagai elemen masyarakat Lombok Timur, tidak terkecuali mahasiswa, aktivis, petani, nelayan, buruh dan bahkan kaum ibu-ibu rumah tangga pun tidak luput dari perbincangan mereka terhadap keberadaan ritel modern yang semakin hari semakin menjamur keberadaannya seperti jamur pada musim hujan.
Munculnya perbincangan tentang ritel modern dalam beberapa minggu ini, tentu karena didorong oleh rasa tanggung jawab bersama dari berbagai elemen masyarakat terhadap keberlanjutan, ketahanan dan ketangguhan ekonomi kerakyatan dan terhadap Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB Lombok Timur yang dibangun dari kiprah ritel tradisional (kios, toko, warung, dll), namun pada kondisi terkini keberadaan ritel tradisional tersebut tergeser, dilumpuhkan bahkan dimatikan dengan semakin menjamurnya keberadaan ritel modern yang hampir selalu berada dan berdiri dengan tegak dan tangguh disetiap lorong perkotaan dan pedesaan yang sepertinya berusaha seoptimal mungkin untuk menggerus dan atau mematikan keberadaan ritel tradisional demi memperkuat gurita ekonomi kapitalis dan menyingkirkan para pelaku usaha pribumi yang selama ini tergabung dalam Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI).
Kebijakan politik pragmatis yang sepertinya lebih terkesan mendominasi kepentingan kekuasaan untuk memberikan ijin atas pendirian ritel modern yang selama ini semakin menjamur walau pada kondisi terkini banyak mengalami resistensi atau perlawanan dari berbagai elemen masyarakat atas semakin menjamurnya keberadaan ritel modern tersebut, namun walau banyak mengalami resistensi sang pengambil kebijakan sepertinya masa bodoh atau ogah untuk menganulir atau merubah kebijakan tersebut.
Secara pribadi saya tidak menyalahkan terjadinya politik pragmatis oleh pengambil kebijakan, karena semuanya itu berangkat dari sikap dan mental kita selaku masyarakat yang juga lebih mengedepankan pragmatis atau transaksional dalam agenda politik pemilukada/pilcaleg/pilkades, sehingga secara nurani dan ekonomi tidak ada seorangpun di dunia ini yang secara tulus dan ikhlas mau berkorban secara finacial untuk kepentingan politik dan kekuasaan, sebagaimana pernyataan Tito Karnavian, Mendagri yang menyatakan “bahwa demokrasi kita adalah demokrasi transaksional, sehingga untuk bisa menjadi Bupati/Wali Kota minimal harus menyiapakan 35 M” dan oleh karena itulah untuk mengembalikan kos politik yang sudah diinvestasikan tersebut, seorang penguasa pasti akan berjuang untuk mengembalikan melalui kebijakan politik pragmatis. Lalu apa kaitannya dengan kehadiran ritel modern yang selama ini semakin menjamur di Lombok Timur, bahkan hampir disemua Kabupaten/Kota yang di NTB ini, silahkan pembaca yang bisa memhami dan menilainya, apakah hal itu ada korelasinya atau tidak.
Namun terlepas dari adanya kepentingan atas dasar politik pragmatis tersebut, seyogyanya menurut saya, karena kebijakan tersebut terlanjur sudah ditelurkan, maka sebaiknya Pemda Lotim melalui pengambil kebijakan sedikit mempunyai empati atas nasif dan keprihatinan para ritel tradisional yang pada kondisi terkini salah saing dan bahkan tersingkir dan nyungsep akibat keberadaan ritel modern tersebut untuk sedikit memberikan proteks atau pembelaan melalui regulasi atau kebijakan baik dalam bentuk Perda dan atau Peraturan Bupati supaya keberadaan ritel modern tersebut juga mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kerakyatan dan dapat mendongkrak Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB Lombok Timur.
Atas dasar keberadaan dan legalitas regulasi dalam bentuk Perda dan/atau Peraturan Bupati tersebut, maka nantinya setiap ritel modern yang beroperasi di wilayah Lombok Timur ini harus mampu : Pertama : memberikan kontribusi dalam bentuk PAD kepada daerah dengan mengharuskan setiap ritel modern tersebut membayar pajak penjualan sebesar 10 % dari setiap transaksi dengan syarat pajak tersebut harus dibebankan dari keuntungan ritel modern tersebut tanpa diperbolehkan menaikkan harga jual. Kedua : setiap ritel modern harus melibatkan pelaku UMKM disetiap kecamatan dengan cara ritel modern harus menjual produk-produk lokal yang diperoleh melalui para UMKM yang ada diwilayah kecamatan tersebut dan tidak boleh menerima produk UMKM diluar kecamatan tersebut untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan serta kesempatan yang sama. Ketiga : Pajak yang diterima dari ritel modern tersebut dipergunakan untuk peningkatan kapasitas dan stilumus permodalan.
Dengan adanya regulasi untuk melindungi dan memberdayakan para pelaku UMKM dari keberadaan ritel modern yang selama ini beroperasi diwilayah Lombok Timur, maka saya sedikit yakin akan mampu mengurangi adanya resistensi yang terjadi atas keberadaan ritel modern tersebut, karena bagaimanapun juga kita harus berpikir sedikit obyketif, bahwa keberadaan ritel modern ini juga mampu membantu beban pemerintah dalam mengurangi pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan yang selama ini masih selalu menjelma di Lombok Timur.
Pertanyaannya, siapakah yang diuntungkan dengan keberadaan ritel modern ini, jawabannya tentu pengambil kebijakan kalau masih dengan cara seperti ini, akan tetapi jika ritel modern ini diatur dalam bentuk regulasi, maka semua pihak pasti diuntungkan, termasuk pengangguran, pelaku UMKM dan termasuk pengambil kebijakan itu sendiri, namun mari kita harus berpikir lebih obyektif dan rasional, karena terlepas siapapun secara pribadi yang diuntungkan, tapi yang jauh lebih besar manfaatnya yang harus kita liat dan kaji, yaitu jika ritel modern ini mampu memberikan manfaat untuk masyarakat luas, yaitu mengurangi pengangguran dari sekian jumlah tenaga kerja yang mereka pekerjakan dan bisa meningkatkan dan mendongkrak Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB Lombok Timur.