Oleh :
H. HULAIN (Direktur YBS NTB)
Kemiskinan adalah penyebab utama kelaparan, kemelaratan, keterlantaran dan menimbulkan berbagai penyakit sosial serta semakin tingginya tingkat kriminalitas. Berdasarkan data BPS Lombok Timur tahun 2019 bahwa jumlah masyarakat Lombok Timur yang tergolong miskin tercatat sebanyak 16,15 % (persen) atau setara dengan 192.526 jiwa dari total 1.192.110 jiwa jumlah pendudukan Kabupaten Lombok Timur.
Sebagai wujud nyata tanggung jawab pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan ditelurkanlah berbagai program, namun sepertinya penyakit kemiskinan tersebut seperti sebuah penyakit kanker ganas yang amat sangat sulit disembuhkan, walau pemerintah sudah melakukan berbagai upaya demi menekan angka kemiskinan tersebut. Dari jumlah penduduk miskin yang ada di Lombok Timur tersebut justru lebih banyak terpusat di kawasan perdesaan yang kita ketahui sebagai sumber kekayaan alam. Artinya kawasan perdesaan adalah sebagai menyumbang angka kemiskinan terbesar jika dibandingkan dengan kawasan perkotaan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur. Salah satu upaya itu adalah mendorong peningkatan investasi di wilayah Provinsi NTB, terutama investasi dalam bidang pariwisata dan pertanian. Hal itu sangat penting karena investasi di bidang pertanian jauh lebih efektif dalam meningkatkan produksi pertanian dari pada kebijakan subsidi, dimana peningkatan produksi pertanian sangat diperlukan untuk pengentasan kemiskinan di pedesaan. Investasi bidang pertanian yang berkembang di Kabupaten Lombok Timur umumnya berupa perusahaan pengepul produk hasil pertanian dan belum ada investor atau perusahaan yang bergerak dalam industri pengolahan, akan tetapi justru yang berkembang dengan pesat adalah perusahaan pengepul komoditas tembakau. Berkembangnya perusahaan-perusahaan pengepul tembakau ini menjadikan Kabupaten Lombok Timur dan wilayah pulau Lombok pada umumnya sebagai salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia bersama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Bagi sebagian masyarakat Lombok Timur khususnya dan Pulau Lombok pada umumnya, bahwa tembakau merupakan primadona, jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Masyarakat bahkan menyebut komoditas tembakau sebagai “emas hijau” karena tingginya nilai ekonomi komoditas tembakau dibanding dengan komoditas pertanian lainnya.
Secara kasat mata memang dampak dari usaha tani tembakau Virginia terhadap perubahan sosial ekonomi pada masyarakat pedesaan di Lombok Timur dan Pulau Lombok pada umumnya telah mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan yang dicirikan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkatnya kualitas perumahan serta meningkatnya pengeluaran masyarakat pedesaan untuk keperluan non pangan.
Keberhasilan Petani tembakau dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui komoditas tembakau, membuat komoditas tembakau semakin populer dan di idolakan sebagai strategi mata pencaharian utama masyarakat pedesaan. Komoditas tembakau ini ditanam secara turun temurun dalam beberapa dekade yang membuat sebagian masyarakat pedesaan menjadi tergantung pada hasil tembakau. Terlebih dengan berkembangnya pola kemitraan antara petani tembakau dengan perusahaan membuat petani tembakau tidak hanya tergantung pada komoditas tembakau, tapi juga bergantung pada perusahaan mitra sebagai pembeli utama produk tembakau hasil petani.
Peran perusahaan sangat dominan, sehingga petani tembakau selalu mengalami ketergantungan terutama dalam memberikan bantuan teknis dan bantuan kredit kepada petani tembakau. Kredit yang diberikan pada umumnya dalam bentuk penyediaan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida, benih, dan sebagainya dengan syarat petani harus menjual tembakaunya kepada perusahaan dan dari hasil penjualan tembakau tersebut langsung dipotong untuk membayar pinjaman yang sudah diterima oleh petani sebesar harga sarana produksi yang didapatkan dari perusahaan. Kemudian penentuan harga tembakau hanya dilakukan secara sepihak oleh perusahaan mitra, sedangkan petani hanya bisa pasrah menerima harga yang sudah ditetapkan oleh perusahaan, sehingga mengakibatkan penghasilan dan kesejahteraan petani tidak bisa dijamin untuk selalu meningkat pada setiap akhir panen. Hal itu terjadi karena lemahnya posisi tawar dari petani yang sudah terikat dengan pola kemitraan, bahkan tidak jarang kualitas daun tembakau (grad) petani dimainkan menjadi grad rendah supaya harga beli menjadi rendah walau pada faktanya kualitas (grad) tembakau petani pada dasarnya masuk dalam grad yang bagus.
Memang tidak dipungkiri bahwa pola kemitraan antara petani tembakau dengan perusahaan terlihat mampu meningkatkan produktifitas dan efektifitas dalam usaha tembakau tersebut, namun karena rendahnya posisi tawar petani dalam proses penentuan harga dan kuatnya intervensi perusahaan dalam melakukan analisis dan perencanaan, menyebabkan petani rentan menjadi korban pemiskinan akibat transaksi bisnis yang tidak berimbang. Proses pemiskinan semacam ini dapat menjebak petani dan keluarganya ke dalam lingkaran setan kemiskinan.
Bahwa salah satu sebab dari timbulnya kemiskinan, karena lemahnya peran kaum miskin dalam proses pengambilan keputusan politik, ekonomi, maupun budaya yang menyangkut kehidupan mereka. Fenomena lingkaran setan kemiskinan yang selama ini menjerat para petani tembakau karena disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani tembakau dalam menenukan harga jual tembakaunya, sehingga berdampak terhadap lemahnya tingkat pendapatan petani, karena pendapatan rendah, maka kemampuan petani untuk menabung juga menjadi lemah, karena rendahnya tabungan, maka berdampak terhadap lemahnya kapasitas modal untuk investasi dalam musim tanam selanjutnya, sehingga berdampak pada rendahnya produktifitas dan akhirnya menyebabkan lemahnya tingkat pendapatan.
Dari gambaran siklus melingkar tersebut menyebabkan masyarakat miskin sulit keluar dari kemiskinannya jika tidak ada intervensi dari luar, sehingga petani tembakau akan selalu terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.