Oleh : H. HULAIN
(Direktur LCW)
Wajah birokrasi dan aparat penegak hukum kembali tertampar dengan adanya kejadian yang berusaha memuluskan pelarian dan atau pembebesan dari buronan kelas kakap kasus korupsi. Hal itu terjadi karena berawal dari rendahnya integritas aparat birokrasi yang sangat sulit dicerna oleh nalar kewarasan kita. Bagaimana tidak, seorang buron korupsi kelas kakap justru mendapatkan fasilitas legal oleh aparat yang mestinya sebagai sang pemburu.
Djoko Tjandra seorang buronan kasus korupsi Bank Bali selama bertahun-tahun, secara cepat dan mulus bisa membuat E-KTP, paspor, surat perjalanan, dan mengajukan Peninjauan Kembali atas kasus korupi yang menjeratnya. Sejumlah instansi yang oknumnya terlibat untuk membantu buronan tersebut, yaitu Pemprov DKI Jakarta, Ditjen Imigrasi, Ditjen Dukcapil, PN Jaksel, Kepolisian dan masih dalam proses penyelidikan atas indikasi adanya photo bersama antara Anita Kolopaking sebagai pengacara Djoko Tjandra bersama Ketua Mahkamah Agung.
Institusi Polri yang sempat tercoreng oleh ulah oknum anggotanya yang tergolong sebagai perwira tinggi mampu dimentahkan oleh Kapolri bersama jajarannya di Bareskrim untuk memulihkan kembali citra yang sempat tercabik-cabik oleh ulah prilaku oknum anggotanya dengan cara melakukan pengusutan dan berhasil menetapkan mereka sebagai tersangka atas kasus suap, surat palsu dan penyalahgunaan wewenang.
Atas dasar itikat baik dan komitmen institusi Polri dalam upaya penegakan hukum terhadap keterlibatan anggotanya tersebut, maka patut kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya dan begitu juga terhadap institusi dari Kejaksaan Agung yang dengan segera dan tanggap memproses dan menjatuhkan sanksi kepada oknum aparatnya. Namun hal itu tentu tidak cukup, karena kasus serupa berpeluang muncul kembali di lain waktu. Penyakit birokrasi yang sudah kronis ini membutuhkan akselerasi reformasi dalam upaya gerakan memutus lingkaran setan tindak pidana korupsi.
Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat sebagai upaya pemerintah mewujudkan paradigma baru Reformasi birokrasi dengan terbitnya UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang menggunakan the local democracy model.
Kemudian, pelaksanaan reformasi birokrasi kembali dikuatkan berdasarkan keberadaan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Implementasi dari Peraturan Pemerintah tersebut diatur lebih rinci melalui Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi.
Sampai saat ini baru ada sekitar 13 kementerian/lembaga yang melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Peningkatan koordinasi serta penajaman dan pengawalan pelaksanaan reformasi birokrasi juga telah ditempuh melalui beberapa langkah kebijakan, seperti diterbitkannya Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang selanjutnya disempurnakan berdasarkan keberadaan Keppres Nomor 23 Tahun 2010; Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen, dan Keputusan Menpan dan RB Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas.
Reformasi birokrasi selama ini tidaklah berjalan mulus sebagaimana diharapkan berdasarkan rujukan berbagai regulasi yang sudah ada sebagaimana disebutkan diatas, karena faktanya kinerja birokrasi dalam pelayanan publik masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme (Dwiyanto, 2003). Kajian Political And Economic Risk Consultancy (2001) di 14 negara juga menyatakan adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup.
Jika kita merujuk berdasarkan Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2019 sebesar 40 (TI, 2020). Indonesia menempati urutan 85 dari 180 negara yang diukur. Sedangkan ICW (2020) memeringkatkan 10 lembaga yang paling banyak memiliki kasus korupsi, yaitu pemerintah kabupaten, pemerintah desa, pemerintah kota, kementerian, BUMN, pemerintah provinsi, badan/lembaga negara, DPRD, BUMD dan penegak hukum.
Lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah mengakibatkan praktik korupsi dan suap masih tinggi di lembaga-lembaga publik. Layanan birokrasi masih ternodai karena praktek pungutan liar (pungli) sebagaimana hasil survey GCB (2013) yang menyebutkan 1 dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan praktek suap dengan berbagai alasan.
Pungli masih ngetren menjadi penyakit layanan bikrorasi dan masuk dalam lingkaran setan korupsi. Pemerintah sejak 2016 sebenarnya telah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) dan menjalankan Operasi Pemberantasan Pungli dan Penyelundupan (OPP). Namun kiprahnya kalah pamor dari intitusi penegak hukum yang sudah ada, sehingga sepertinya timbul tenggelam dan kini kurang terdengar lagi gaungnya dan bahkan sepertinya hilang tanpa pesan yang berarti.
Pemberantasan pungli memiliki tantangan sepadan dengan pemberantasan korupsi, karena permasalahan di lapangan sudah terlalu kompleks, turun temurun, dan rapi dan pada kondisi terkini pungli menjadi ganjalan untuk menciptakan adanya kepastian hukum. Tantangan dalam upaya pemberantasan pungli sudah semakin besar dengan hadirnya gejala kapitalisme kroni. Kapitalisme Kroni merupakan sistem kapitalisme yang dibangun berdasarkan kedekatan para pengusaha dengan penguasa. Pungli dan kapitalisme kroni menjadi penyakit akut birokrasi yang mesti harus diputus mata rantainya oleh semua elemen masyarakat.
Indonesia menempati urutan ketujuh dalam indeks Kapitalisme Kroni 2016 versi The Economist. Angka ini naik satu peringkat dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan lonjakan kekayaan para pengusaha yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa. The Economist (2016) memaparkan bahwa Indeks kapitalisme kroni melihat kenyataan, bahwa beberapa industri cenderung rente. Praktik umum yang sering dilakukan adalah melalui kartel, minimalisasi hingga pengemplangan pajak, monopoli dan lobi-lobi bisnis yang melibatkan aparat negara. Sektor bisnis yang rentan terjadinya kartel antara lain di sektor telekomunikasi, industri berbasis sumber daya alam, real estate, konstruksi dan pertahanan.
Dampak dari kapitalisme kroni menyebabkan negara/daerah berkembang kurang produktif dan hanya menyumbang 43 persen pendapatan global. Di Indonesia sendiri jumlah kekayaan para taipan sebesar 5,8 persen dari Produksi Domestik Bruto. Kekayaan tersebut diduga 3,8 persennya diraih melalui praktik main mata dengan oknum aparat negara.
Indonesia telah mengalami pengalaman pahit terkait kapitalisme kroni selama 32 tahun saat Orde Baru. Kapitalisme kroni menjadi bagian tidak terpisahkan dari sengkarut korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alhasil ekonomi ambruk dan politik memanas hingga menumbangkan rezim raksasa Orba.
Penyakit kronis birokrasi dan perilaku korupsi telah membentuk lingkaran setan yang sulit dicari hulu hilirnya dan oleh karena itu satu-satunya jalan adalah memutus lingkaran dari terjadinya praktek-praktek yang sangat merugikan masyarakat tersebut.
Presiden Jokowi juga sudah sangat mewanti-wanti agar kinerja birokrasi dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh amanah agar kinerja birokrasi menjadi lebih profesional, berkualitas dan bertanggung jawab kepada publik dan diharapkan agar terwujudnya optimalisasi reformasi birokrasi dengan melanjutkan yang sudah berjalan baik dan membuat program reformasi baru.
Oleh karena itu pemerintah pusat harus intens untuk mengevaluasi dan menyempurnakan peta jalan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik harus memenuhi beberapa asas. Asas-asas yang perlu diperhatikan antara lain asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaran negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proposionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Reformasi birokrasi penting menjauhkan diri dari kepentingan politik dan semata mata demi perbaikan kinerja untuk pengabdian terhadap pelayanan publik.
Pemberantasan korupsi memiliki sistematika rencana strategis dan panduan yang jelas dan tidak membias dalam penafsiran. Proporisonalitas antara pencegahan dan penindakan diperlukan. Asas keadilan dan transparansi penting dibuktikan. Kredibilitas dan integritas jajaran tim mesti menjadi jaminan. Alih-alih memberantas, jangan sampai justru membuka celah baru hadirnya pungli tambahan yang menambah deretan terjadinya potensi kasus korupsi yang lebih besar.
Oleh karena itu pentingnya skala prioritas, mengingat keterbatasan sumberdaya. Kasus kecil tetap diperhatikan, namun kasus besar mesti harus diutamakan dan jangan terkesan tebang pilih, kasus yang melibatkan pejabat tinggi justru lebih banyak diberaskan daripada diberkaskan. Kasus kroni-kroni kelas kakap mestinya menjadi lebih prioritas dari kasus kelas teri yang sebagian besar melibatkan kalangan bawah yang seringkali terjadi semata-mata karena ketidakpahaman mereka terhadap regulasi yang ada. Kapitalisme kroni hadir dari dua sisi sekaligus, karena peran aktif dari pengusaha dan/atau karena agresifnya oknum aparat negara. Peluang terbukanya pintu dari kedua sisi ini mesti ditutup celahnya sesempit mungkin untuk meminimalisir terjadinya praktik-praktik korupsi yang mengakibatkan langgengnya kemiskinan.
Pengurangan kapitalisme kroni akan mengurangi bocornya pendapatan negara atau daerah dari sektor pajak, sehingga negara atau daerah tidak mengalami depisit anggaran untuk membangun infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan memerangi kemiskinan.