Oleh :
H. HULAIN,SH.
Direktur LCW
Partisipasi masyarakat paska reformasi masih sangat akrab ditelinga kita. Kosa kata ini menjadi perbincangan dibanyak kalangan, mulai dari penyelenggara negara sampai warung-warung kopi atau lesehan diberbagai pelosok negeri/daerah ini. Persoalan yang menyangkut partisipasi hanya sebatas wacana/selogan semata tanpa ketahuan seperti apa bentuk dan implementasinya. Semua aparat negara/daerah mengerti dan faham betul bagaimana sebuah kebijakan termasuk APBD harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif. Jika kita bertanya pada pengelola negara/daerah, maka jawabanya adalah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Tanpa dapat diukur berapa besaran tingkat partisipasi yang dilakukan berdampak pada kebijakan yang diterbitkan, sehingga memberikan manfaat yang sangat signifikan pada peningkatan kesejahteraan dan rasa keadilan masyarakat. Jika sudah demikian, maka dalihnya adalah kualitas partisipasi, pilihan kelompok masyarakat dan keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah.
Provinsi NTB salah satu zona merah dalam pemberantasan korupsi sebagaimana hasil survey dari beberapa lembaga anti korupsi yang ada di Indinesia, yang salah satunya adalah ICW. Berdasarkan hasil survey itu secara umum memang melihat bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pemda dalam memerangi korupsi. Namun, survey ini juga menggambarkan bagaimana ketersediaan dan keberdayaan Lembaga dan praktik di sebuah Negara/daerah yang dapat dipergunakan oleh warganya untuk mendorong akuntabilitas pemerintah terhadap kepentingan publik. Hasil survey itu tidak mengukur korupsi itu sendiri, melainkan mengukur tingkat kemampuan warga negara untuk mendorong keterbukaan dan akuntabilitas pemerintah. Indikator-indikatornya adalah sebuah checklist mengenai langkah-langkah yang bisa digunakan pemerintah untuk meningkatkan anti-korupsi reforms.
Jika kita melihat hasil indek tadi, maka terlihat adanya kepentingan public di satu sisi dengan pengelolaan pemerintahan di sisi yang lain. Artinya dari kepentingan public sangat besar keinginan dan dorongan publik guna dipenuhinya keterbukaan dan akuntabilitas pemerintahan. Sayangnya, kehendak tersebut tidak mendapat jawaban yang memadai dari masyarakat politik (parpol, DPR/D) dan pengelola pemerintahan. Kondisi ini tentu menjadi semakin runyam bak benang kusut ketika hukum dan penegakkannya sangat lemah. Hukum dan aparaturnya tidak mendukung, apalagi melindungi, desakan kepentingan publik atas pemerintahan yang terbuka dan akuntabel. Dalam kompleksitas masalah seperti ini tidak mengherankan kebijakan termasuk APBD tidak memberikan ruang partisipasi pada publik. Sehingga, the cycle of corruption terus berlanjut dan para pelakunya selalu menikmati dan bebas tanpa sentuhan hukum .
Jika kita melakukan refleksi dari beberapa kasus korupsi yang terjadi di NTB ini, maka ada beberapa hal yang menjadi persoalan yang perlu segera didiskusikan pemecahannya yaitu: Pertama, Masalah kita bukan pada rendahnya kualitas dan kuantitas tingkat partisifasi civil society, karena pada kenyataannya peran dan kiprah atau partisifasi civil Society sudah cukup kuat yang direpresentasikan oleh NGO, Media dan masyarakat bisnis. Kedua, Masalah kita tidak terletak pada ketertutupan mekanisme politik bagi keterlibatan warga negara dalam menuntut akuntabilitas dan keterbukaan.
Hambatan utama kita dalam mengupayakan pemerintahan yang terbuka dan akuntabel adalah justru institusi-institusi dan praktik pemerintahan yang selama ini tidak menjawab desakan kepentingan publik. Yang justru terjadi, saya kira, institusi-institusi tersebut (lembaga, Undang-undang, peraturan, dll) cenderung memiliki kepentingan sendiri yang terasing dan berbeda dari kepentingan public, sehingga pratik korupsi terjadi, dalam sebuah mekanisme saling melindungi yang sampai hari ini belum dapat disentuh oleh tuntutan keterbukaan dan akuntabilitas. Pertanyaannya ditengah kuatnya arus partisifasi masyarakat dan peneyelenggaraan mekanisme politik demokratik, yang memungkinkan warga negara secara langsung menyatakan pikiran dan kehendaknya, berapa lama lagi Institusi-institusi Negara tersebut menjadi “RAJA DAN MERASA BERKUASA”?