Oleh : Siti Maemun
Pembunuhan Intan Mulayati, gadis cantik asal Kelurahan Kumbe Kota Bima yang di bunuh mantan kekasihnya beberapa waktu lalu, yang merupakan seorang dosen tentu membuat banyak pihak tersentak, terlebih menurut pemberitaan media intan di bunuh mantan kekasihnya karna menolak menikah dan mantan kekasihnya membunuhnya karna telah banyak memberikan materi saat intan masih kuliah.
Untuk menghentikan dominasi kaum machoisme (laki-laki) terhadap perempuan baiknya kita belajar Sejarah Masyrakat Dunia (SMD) agar tumbuh kesadaran bahwa memanusiakan manusia (kesetaraan) adalah sejarah Pase awal peradaban manusia di bumi.
Sejarah Penindasan Perempuan
Secara arti bahasa Patriarki diambil dari kata “patriarch” yang artinya kekuasaan bapak, yang dimaksudkan di sini bahwa patriarki merupakan suatu sistem imajiner dan turun temurun yang meletakkan laki-laki dalam posisi tertinggi dalam suatu struktur sosial.
Penggunaan istilah struktur sosial untuk menunjukkan penolakan terhadap determinisme biologis dan gagasan bahwa setiap individu laki-laki berada pada posisi dominan dan setiap individu perempuan dalam posisi subordinat. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa patriarki adalah sistem sosial yang berlaku di dalam masyarakat dan melanggengkan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan.
Patriarki terbentuk.
Jauh sebelum terbentuknya peradaban maju di bumi, kehidupan manusia sangat sederhana dimana hanya terdiri dari berbagai kelompok yang bertahan hidup dengan berburu dan meramu yang oleh antropolog di sebut sebagai Pase comunal primitif.
Pada masa ini tidak ada pembagian kerja yang signifikan antara laki-laki dan perempuan memerankan hal yang sama secara bersama-sama dalam proses pemenuhan kebutuhannya.
Laki laki hidup sejajar dan setara, bahkan di banyak tempat banyak perempuan yang menjadi kepala suku dan di tempat yang lain ada laki laki yang juga menjadi kepala suku.
Masing masing suku (kelompok) ini mengumpulkan hasil buruan bersama untuk pemenuhan hidup bersama.
Disatu sisi kelebihan perempuan yang di berikan ilahiah adalah hamil, melahirkan dan menyusui yang tiga hal ini tidak dapat di lakukan oleh manusia laki-laki.
Pada saat hamil, melahirkan, dan menyusui ini perempuan comunal primitif hidup berdiam diri di dalam goa dan saat seperti ini laki lakilah yang berperan mencari dan mengumpulkan makanan.
Secara tidak sadar perempuan yang dalam kondisi hamil,melahirkan dan menyusui ini mengamati bahwa sisa sisa makanan (biji bijian) yang di buang di seputaran gua dapat tumbuh dan perempuan comunal primitif ini berpikir bahwa makanan (buah buahan) ini bisa di kembang biakkan (disemai).
Seiring waktu, bertani/bercocok tanam pun mulai di kembangkan, dan merubah peradaban manusia dari nomaden (berpindah-pindah) yang bercorak berburu dan meramu ke peradaban menetap.
Perempuanpun telah membentuk entitas sejarahnya sebagai “penemu peradaban pertanian”, meski lambat laun seiring di temukannya pekas yang lebih modern berupa logam yang membuat alat disektor pertanian pun semakin maju yang lambat laun perempuan tergeser dari dunia pertanian dan di kuasai kaum laki laki.
Sehingga secara sederhana penindasan terhadap perempuan di mulai dengan di kuasainya alat produksi oleh kaum laki laki atau dengan bahasa lain penindasan di mulai ketika alat produksi tidak lagi di miliki secara bersama sama (comunal) tetapi beralih menjadi kepemilikan pribadi. Pase inilah cikal bakal penaklukan di mulai yang merubah wajah dunia dari wajah kekeluargaan/gotong royong ke wajah individual.
Subordinasi (penomer duaaan).
Hanya perempuan yang mengalaminya, atau jikapun ada di di alami laki laki persentasenya sangat sedikit.
Sehingga ada yang pamiliar di aktivis isu feminis “tubuh perempuan adalah areal perang atau pertempuran”.
Pertanyaanya kemudian Mengapa tubuh?
Sejak berabad abad lamanya (Pase peodal)
tubuh perempuan telah dikonstruksikan untuk sekadar berperan sebagai alat reproduksi, alat pemuas napsu, hingga alat tukar atas dasar relasi pemilikan yang berpusat pada laki-laki. Dengan kata lain tubuh perempuan dijadikan sasaran tindakan, kontrol, dan objek pemilikan.
Tubuh perempuan dipenjara, dan kemampuan kerjanya direduksi hanya sebagai kerja reproduktif untuk melahirkan anak itupun di atur laki-laki mengenai jumlah dan jarak, pelayanan seksual, dan pemeliharaan anak dengan kata lain kemampuan tubuh perempuan dibatasi dan dipusatkan hanya di ranah domestik rumah tangga yang bertugas di seputaran dapur, sumur dan kasur.
Sehingga penomor duan terhadap perempuan adalah bentuk penindasan terhadap perempuan juga. Perempuan yang berumah tangga harus di ajak mupakat secara setara tentang seksual, penentuan jumlah anak, jarak melahirkan, pendidikan, maupun dalam pemenuhan sandang, pangan, dan papan.
Stereotif (pelebelen negatif)
Seringkali perempuan di lebelkan atau di anggab cengeng, suka digoda, Perempuan tidak rasional dan emosional, Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting, Perempuan sebagai pencari napkah tambahan karna pungsi utamanya adalah ibu rumah tangga, perempuan pulang malam citrakan perempuan jalang.
Kekinian di kota kota besar seperti Mataram mungkin jenis penindasan di atas sudah mulai berkurang, karna banyak perempuan sudah mampu mengakses pendidikan dan lapangan pekerjaan.
Sehingga tidak sedikit perempuan harus pulang larut malam karna di tempatnya bekerja mendapatkan sif malam.
Hal ini akan terlihat terbalik di desa, jika perempuan pulang malam (di atas jam 10) akan di citrakan perempuan jalang, padahal kadang tempat kerjanya (sebut saja restauran) ada yang tutup jam 12 malam hingga membuat perempuan pekerja pulang di atas jam 12 malam.
Semua bentuk penindasan atau ketidak adilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotif gender laki-laki dan perempuan. Stereotif itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan berasal dari sesat pikir. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan dengan tujuan penaklukan.
Memanusiakan Perempuan.
Untuk meminimalisir penindasan terhadap perempuan, perempuan harus di berikan akses seluas luasnya terhadap pendidikan dan keterampilan.
Karna perempuan yang berpendidikan akan mampu mengakses pekerjaan yang layak dan perempuan yang terampil akan membuat perempuan itu sendiri berpenghasilan.
Cenderung perempuan di remehkan karna di anggab bergantung dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Namun perjuangan ini tentu tidak bisa di lakukan sendiri oleh kaum perempuan dalam situasi negara bangsa seperti saat ini dimana libralisme dan kapitalisme masih menguasai.
Perempuan dan laki laki harus bersatu padu mewujudkan Indonesia Merdeka secara hakiki, dimana Indonesia sebagai Negara bangsa harus berdaulat mengatur bumi serta kekayaan alamnya untuk sebesar besar kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945) untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis adalah sekretaris Pokja I PKK Kec. Sikur.