Oleh : Maieutike Development
Pergeseran era modern menuju post-modern salah satunya bisa dilacak melalui kekuatan industri yang ditekankan dalam pasar. Dalam masa perkembangan era modern, kekuatan suatu perusahaan ditentukan oleh kekuatan modal yang dimiliki. Peran suatu industri tidak berarti sama sekali jika tidak disokong melalui kelebihan aset-aset yang berlimpah. Sedangkan pada era post-modern kekuatan ditentukan oleh bagaimana perusahaan mempromosikan produk-produk yang hendak disebar di pasaran. Iklan harus dibungkus sedemikian atraktif sehingga menggugah minat para calon konsumen. Tuntutan tersebut merupakan prasyarat yang harus ada pada sebuah iklan sehingga ia bisa mempunyai nilai tawar pada pasar.
Keadaan yang melingkupi kompleksitas iklan era pasca modernitas tersebut secara langsung berimplikasi pada realitas produk yang ditawarkan melalui sebuah iklan. Era post-modern pada gilirannya adalah sebuah pertunjukkan iklan yang tidak merepresentasikan produk yang dipromosikan berdasarkan kondisi sesungguhnya. Nilai yang ditanamkan hanyalah bentuk kesemuan objektibivitas Pada sisi yang lain, sasaran iklan dalam hal ini masyarakat atau konsumen tidak memiliki kemampuan untuk menentukan antara realitas dan simulasi yang ditampilkan dalam sebuah pergelaran promosi, karena terlanjur terhegemoni oleh kekuatan industri. Pasalnya, iklan pada masa kapitalisme lanjut menawarkan sebuah hasrat yang sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali. Misalnya bagaimana sekelompok pembeli jam tangan rela mengeluarkan bermilyar rupiah hanya untuk melihat waktu, padahal jam seharga ratusan ribu dengan kemampuan setara banyak beredar di pasaran dengan harga yang sama. Ini merupakan suatu era dimana kebutuhan palsu diciptakan. Produk yang hanya berupa hasrat terlihat seperti kebutuhan urgent yang sesungguhnya. Dalam konstelasi ilmuwan sosiologi-ekonomi, perilaku tersebut sering disebut libidonomics.
Pasar hari ini tidak lagi diartikan sebagai wadah untuk mempertemukan kepentingan antara pembeli dan penjual seperti yang dinyatakan oleh Adam Smith. Ia mengalami penggelembungan makna secara berlebihan. Belanja atau shoping membuat subjeknya mendapatkan kepuasan tersendiri atas barang materil yang dibeli. Hal di atas akan menghilangkan fungsi agama, filsafat dan seni pada ranah publik. Seharusnya ketiga hal tersebutlah yang menjadi nilai pemandu bagaimana ruang publik harus dijalankan secara etik. Pelanggaran batas-batas etik yang dilakukan secara berulang bukan tidak mempunyai impikasi serius.
Penyusutan makna merupakan suatu keniscayaan yang terjadi pada masyarakat post-modern. Logika publik dimanipulasi untuk memberikan nilai pada pasar melalui iklan. Akhir daripada aktulalisasi diri individu diartikan dalam bagaimana relasi yang terjadi antara dirinya dengan pasar. Awalnya terjadi promosi simbol dalam pasaran, kemudian tertanam paradigma tentang kemewahan suatu produk. Lalu suatu kluster dalam masyarakat membeli produk tersebut sebagai identitas dasar dalam kelompok. Calon anggota akan mencurahkan seluruh yang dia punya untuk memiliki produk yang sama agar bisa diterima secara luas dalam kelompoknya.
Dalam pusaran kubangan iklan semacam ini diperlukan negara yang diasumsikan sebagai lembaga. Lembaga adalah seperangkat sistem yang berfungsi membentuk suatu halangan bagi penyimpangan. Iklan era post-modern dapat dikatakan sebagai penyimpangan etik, karena di dalamnya hanya terdapat simulasi kebutuhan semu. Diharapkan negara dengan lembaganya hadir untuk membentuk regulasi tentang iklan. Ini akan berdampak langsung terhadap pembangunan manusia yang diupayakan oleh pemerintah. Bagaiamana pembangunan manusia bisa dilaksanakan secara maksimal apabila paradigma publik telah terhegemoni oleh logika pasar? Tentu masyarakat tidak mempunyai kesadaran dasar seperti itu. Negara mempunyai kewajiban moral untuk membentuk kesadaran warganya menuju arah yang lebih rasional.