GledekNews-Mataram. Wartawan Gledek mencoba menggali berbagai persoalan yang masih hangat berkembang di tengah-tengah kehidupan politik dan kegelisahan beberapa oknum anggota DPRD Provinsi NTB ditengah-tengah hiruk pikuk isyu dana pokir yang dinilai tidak adil dan tidak proporsional sehingga menimbulkan konflik sosial dan politik di internal DPRD Provinsi NTB.
Berangkat dari konflik sosial dan politik yang terjadi di internal anggota DPRD Provinsi NTB tersebut, kemudian menggugah semangat wartawan Gledek untuk mencoba menelusuri sebab musabab terjadinya indikasi konflik di internal anggota DPRD Provinsi NTB sebagai akibat dari alokasi dana pokir yang dinilai tidak adil dan tidak proporsional dengan mencoba menemui dua orang anggota DPRD Provinsi NTB, yaitu TGH. NAJAMUDIN MUSTAFA dan salah seorang anggota Partai NasDem yang keduanya kemudian sangat gamblang dan pulgar menceritakan pengalokasian dana Pokir yang dinilai tidak adil dan tidak proporsional dan lebih memilih untuk meniadakan dana pokir, karena dinilai sebagai ajang transaksional politik anggaran eksekutif untuk meloloskan berbagai program yang tidak termasuk dalam skala prioritas dan tidak berpihak untuk kepentingan masyarakat dan selain itu dana pokir dinilai sebagai upaya dan strategi eksekutif untuk membelenggu Tugas dan Kewenangan DPRD untuk melakukan pembahasan anggaran dan melakukan pengawasan terhadap realisasi APBD.
TGH. NAJAMUDIN MUSTAFA yang pada Pilkada 2018 ikut berlaga sebagai Calon Wakil Bupati yang berpasangan dengan H. M. SYAMSUL LUTFHI, namun belum mempunyai nasif untuk memimpin Lombok Timur dan dibalik kegalaunnya dalam menerima kekalahan dalam Pilkada Lombok Timur tersebut tidak membuatnya putus semangat untuk berjuang membela dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat Lombok Timur, karena walau gagal sebagai Wakil Bupati namun TGH. NAJAMUDIN MUSTAFA mewujudkan mimpinya untuk tetap membela dan mengabdi untuk kepentingan masyarakat Lombok Timur dengan ikut berkompetisi sebagai Calon Anggota DPRD Provinsi NTB yang kemudian membawa dia sukses untuk duduk sebagai wakil rakyat yang benar-benar merakyat dan kini penuh kontroversi menentang keberadaan pokir yang diamini dan sangat dibutuhkan oleh mayoritas anggota DPRD Provinsi NTB dan atas ketidaksetujuannya terhadap keberadaan dana pokir tersebut membuatnya dengan lantang dan berani menyampaikan semua kegundahan dan kegalaunnya atas keberadaan dana pokir tersebut kepada wartawan media ini.
Dengan penuh semangat dan berapi-api serta dengan ciri khas suara tenornya (Red. Suara tertinggi pria) TGH. NAJAMUDIN MUSTAFA menyampaikan, “bahwa pemerintah pusat tidak adil dan bersikap diskriminatif terhadap pendapatan DPRD dibanding dengan pendapatan DPR, karena sesungguhnya wakil rakyat itu hanya ada di DPRD, sedangkan DPR hanya sebatas lambang sebagai wakil rakyat, karena sejak dilantik mereka bukan lagi sebagai wakil rakyat, akan tetapi kedudukan anggota DPR sudah menjadi pejabat negara dengan berbagai fasiltas seperti rumah dinas, kendaraan, pengamanan dan tunjangan pensiun setiap bulan setelah tidak lagi menjadi anggota DPR, sedangkan untuk anggota DPRD yang juga sama-sama dipilih oleh masyarakat tidak mendapatkan fasilitas yang sebanding dan proporsional dengan pendapatan dan fasilitas yang diterima oleh DPR., apalagi untuk mendapatkan tunjangan pensiuan setelah tidak menjadi anggota dewan”.
Anggota DPRD tidak ada istilah protokoler, sedangkan untuk anggota DPR sangat ketat dengan protokolernya dan karena ketatnya, maka jangan pernah berharap untuk segampang itu bisa bertemu dengan anggota DPR yang posisinya sudah sebagai pejabat negara dan bukan lagi sebagai wakil masyarakat. Kalau ada anggota masyarakat yang mencoba untuk bertemu menyampaikan aspirasinya di gedung DPR, maka security pasti akan mengajukan pertanyaan kepada Anda “apa sudah buat janjian?” kalau Anda jawab “belum” maka jangan harap untuk bisa dilayani atau difasilitasi bertemu dengan anggota DPR yang Anda mau temui tersebut. Sehingga menurut saya pada hakekatnya wakil rakyat yang sebenarnya itu adalah anggota DPRD, karena anggota DPRD itu selaku dekat dengan rakyat yang setiap hari pasti bertemu dan didatangi oleh rakyat, sedangkan anggota DPR yang dikawal dengan protokoler yang sangat ketat tidak cocok dikatakan sebagai wakil rakyat, karena dicari saja sangat sulit, apalagi mau didatangi setiap hari oleh rakyat pasti diusir oleh security. Tegasnya.
TGH. NAJAMUDIN MUSTAFA yang akrab disapa dengan H. NAJAM juga menyampaikan “Karena DPR sangat sulit untuk didatangi oleh rakyat, maka dengan demikian pendapatan dari anggota DPR tersebut tidak akan terganggu oleh rakyat dan kalaupun sedikit diganggu tentu tidak akan menggunakan gajinya untuk melayani rakyat, karena sudah ada pendapatan-pendapatan lain diluar gaji, baik bersumber dari dana reses dan aspirasi (pokir), sedangkan kalau anggota DPRD yang setiap hari bertemu dan dicari oleh rakyat, tentu tidak akan tega membiarkan rakyat yang mendatanginya pulang dengan tangan kosong, walau hanya sebatas untuk minyak kendaraan dan coba Anda bayangkan, bagaimana dalam sehari ada minimal 15 orang yang datang dan diberikan uang bensin minimal 50 ribu per orang dan ada juga yang kita berikan 100 ribu, maka dalam setiap harinya anggota DPRD harus mengeluarkan sekitar Rp. 1.000.000,- dan jika dikalikan untuk satu bulan (30 hari), maka setiap anggota DPRD setidak harus menggerogoti pendapatannya sebesar Rp. 30.000.000,- Pengeluaran itu bukan hanya untuk menjamu rakyat yang datang ke rumah anggota DPRD, tapi anggota DPRD juga masih mempunyai tanggung jawab sosial lainnya, seperti adanya berbagai kegiatan pemuda atau masyarakat dalam menyambut hari-hari besar keagamaan dan menyambut perayaan hari kemerdekaan yang juga tidak bisa diabaikan oleh anggota DPRD untuk memenuhi kebutuhan tersebut”.
Coba Anda hitung, bagaimana jika dalam setiap tahunnya masyarakat dan/atau pemuda mengadakan kegiatan hari besar keagamaan dan perayaan hari kemerdekaan dalam waktu yang berbeda dalam setiap tahunnya dan jika itu dilakukan di seluruh wilayah kecamatan yang menjadi bagian dari Daerah Pemilihan (Dapil) anggota DPRD dan dalam Daerah Pemilihan itu misalnya jumlah desanya sebanyak 50 Desa dan dari ke 50 desa tersebut para pemudanya mengadakan kegiatan hari besar keagamaan kemudian mengajukan permohonan sumbangan kepada anggota DPRD yang rata-rata diberikan sumbangan minimal Rp. 1.500.000,- tentu akan mengeluarkan kos pembiayaan sekitar Rp. 75.000.000,- lalu bagaimana kalau ada 2 (dua) kegiatan, tentu akan membutuhkan pembiayaan sekitar Rp. 150.000.000,- dan jika ada 3 (tiga) kegiatan dalam setahunnya, maka biaya yang akan digelontorkan oleh anggota DPRD semakin membengkak menjadi sekitar Rp. 225.000.000,- untuk kegiatan perayaan hari besar keagamaan dan perayaan hari kemerdekaan. Cetus H. Najam.
Pengeluaran tersebut tidak sebatas pada pembiayaan tersebut diatas, karena masih dalam setiap tahunnya untuk menyambut hari raya lebaran Idhul Fitri yang justru membutuhkan pembiayaan yang sangat besar, karena bagaimanapun juga pada momen lebaran Idhul Fitri itulah anggota DPRD dilihat komitmen dan keberpihakannya kepada konstituen atau masyarakat yang memilihnya, sehingga bisa menjabat sebagai wakil rakyat dan jika anggota DPRD tersebut abai atau tidak peduli pada masyarakat yang pernah memilihnya tersebut, maka tentu akan timbul berbagai doa-doa dan fitnah yang tidak akan pernah habis-habisnya dan menjurus pada pembunuhan karakter dan jangan pernah bermimpi untuk dipilih kembali jika mencalonkan anggota DPRD tersebut mencalonkan diri kembali, sehingga pada momen menyambut hari lebaran Idhul Fitri itulah anggota DPRD harus hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang pernah memilihnya dan untuk membuktikan diri hadir dan benar-benar sebagai wakil rakyat yang merakyat, maka setidaknya jika anggota DPRD tersebut pada waktu pemilihan mendapat suara sebanyak 10.000 suara, maka setidaknya anggota DPRD tersebut harus menyiapkan sarung untuk shollat Idhul Fitri minimal sebanyak 5.000 lembar sarung dengan harga minimal Rp. 50.000,- X 5.000 = Rp. 250.000.000 dan plus uang masing-masing Rp. 100.000,- X 5.000 orang = 500.000.000,-, sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh anggota DPRD untuk lebaran saja sekitar Rp. 750.000.000,-. Kata H. Najam dengan mengajak wartawan media ini untuk menghitung berbagai pengeluaran menjadi anggota dewan.
Lalu bagaimana kalau ada warga yang juga meninggal minimal 1 (satu) orang dalam setiap harinya, apakah anggota DPRD juga tidak peduli atas kejadian tersebut, tentu harus peduli yang minimal atau paling rendah harus berbagi sebesar Rp. 250.000,- bagaimana kalau ada warga atau tim sukses yang mengadakan hajatan perkawinan, khitanan, akiqah, tentu anggota DPRD sebagai wakil rakyat yang akrab dengan rakyat akan selalu hadir dan tidak mungkin untuk tidak memberikan kontribusi kepada tim suksesnya minimal sebesar Rp. 1.000.000,- lalu bagaimana juga dengan pemilih, tetapi bukan tim sukses, apakah anggota DPRD juga tidak perlu hadir jika ada yang mengadakan kegiatan perkawinan, kematian, khitanan, aqiqah dan kegiatan-kegiatan lainnya. Jawabannya tentu harus hadir dan kalaupun secara fisik tidak bisa hadir, minimal mengirim air kemasan sebanyak 10 dus. Kata H. Najam dengan penuh semangat.
Lalu bagaimana dengan anggota DPR yang juga sama-sama dipilih oleh rakyat, apakah intraksi kehidupannya sama dengan anggota DPRD ? jawabannya tentu tidak, karena keberadaan anggota DPR lebih banyak di pusat kota yaitu di Jakarta yang sebentar-bentar lebih banyak kunker ke luar negeri atau ke berbagai negara. Pertanyaannya apakah anggota DPR tersebut cocok dilabeli sebagai wakil rakyat dan merakyat, jawabannya tentu tidak layak, karena separuh dari hidupnya dihabiskan di Jakarta dan kalaupun bertemu dengan rakyat paling sekali dalam 4 (empat) bulan dalam kegiatan reses dan itupun hanya perwakilan saja yang dihadirkan atau yang diundang. Artinya kalau anggota DPR yang dikenal sebagai pejabat negara tersebut akan hadir kehadapan rakyat pada kegiatan reses karena dibekali dengan anggaran yang sangat besar, sedangkan anggota DPRD hadir di tengah-tengah rakyat bukan hanya sekali dalam 4 (empat) bulan atau 3 (tiga) kali dalam setahun pada kegiatan reses, akan tetapi hampir setiap hari dan malam selalu didatangi ke rumahnya oleh rakyat yang juga minimal harus dijamu dengan air mineral atau kopi, akan tetapi perlakukan pemerintah terhadap keberadaan anggota DPRD yang benar-benar sebagai wakil rakyat dan bukan dinilai sebagai pejabat justru berbanding terbalik dengan fasilitas dan keistimewaan yang diberikan kepada anggota DPR dibanding dengan anggota DPRD. Apa menurut Anda keberadaan anggota DPRD seperti ini tidak memprihantinkan dengan kondisi ini ? tanyaknya kepada awak media ini.
Akibatnya untuk memenuhi semua kebutuhan dalam melayani rakyat tersebut, maka anggota DPRD berlomba-lomba memburu besaran dana Pokir untuk menutupi semua kebutuhan pembiayaan terhadap rakyat tersebut, dan siapa anggota DPRD yang berani, garang dan/atau “licin” pasti akan mendapat dana pokir lebih besar jika dibandingkan dengan anggota DPRD yang “bodoh” dan tidak punya nyali untuk melawan benteng kekuasaan eksekutif di daerah. Pokir (Pokok Pikiran Rakyat) hanya sebatas tameng untuk memperoleh pendapatan lebih demi menutupi semua kebutuhan untuk melayani rakyat yang akibatnya rakyatlah yang akan menjadi korban dari kebijakan negosiasi besaran Pokir anggota DPRD, karena dengan keberadaan dana Pokir justru memandulkan tupoksi anggota DPRD dalam menjalankan kewenangannya dalam pembahasan anggaran atau APBD yang benar-benar berpihak untuk kepentingan rakyat dan selain itu adanya berbagai kebijakan korup dari hasil negosisasi besaran Pokir berimbas pada adanya indikasi penyelewengan anggaran yang tidak mampu disuarakan oleh anggota DPRD atau suara dan kritis anggota DPRD dibungkam dengan keberadaan dana Pokir yang diharapkan untuk mencari keuntungan atau fee dari transaksional kegiatan dan tidak sedikit dari anggota DPRD yang tupoksinya hanya sebatas membahas dan mengesahkan anggaran, justru terlibat sebagai perencana pembangunan dan terlibat mengeksekusi atau terlibat untuk menentukan siapa kontraktor-kontraktor yang akan diberikan untuk mengerjakan kegiatan atau proyek yang sumber dananya dari dana Pokir tersebut. Bebernya.
Melihat penomena keberadaan anggota DPRD yang sudah menggadaikan tupoksinya dengan keberadaan dana Pokir tersebut, lalu apakah wajar kalau kemudian anggota DPRD dapat diharapkan sebagai ujung tombak untuk membela kepentingan rakyat ? jawabannya tentu tidak, karena keberadaan anggota DPRD justru lebih banyak membawa kemudaratan untuk kepentingan rakyat yang sudah digadaikan dengan keberadaan dana pokir tersebut. Keluh H. Najam.
Negosiasi nominal dana Pokir berimbas terhadap keseriusan dan efektifas pembahasan RAPBD, oleh karena itu menurut saya sebaiknya Dana Pokir ditiadakan, demi mewujudkan Tupoksi anggota DRPD dalam menjalankan tugas dan wenangannya dalam pembahasan RAPBD dan RPAPBD serta melaksanakan fungsi kontrol atas pelaksanaan atau realisasi APBD, karena selama Pokir masih menjadi harapan primadona anggota DPRD, maka selama itu pula anggota DPRD tidak akan mampu menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang dan Peraturan perundang Undang Undangan yang lainnya dan supaya anggota DPRD bisa menjadi “Macan” yang pantang takut dalam menyuarakan kepentingan dan nasif rakyat dalam kebijakan pengalokasian dan penetapan anggaran yang tertuang dalam APBD. Pertanyaannya lalu dari mana sumber kos anggota DPRD untuk mengembalikan kos politik yang sudah dikeluarkan pada waktu Pemilu dan dari mana sumber pendapatan anggota DPRD untuk bisa melayani berbagai kebutuhan masyarakat, khusunya para “pahlawan suara” yang mendudukkan mereka sebagai wakil rakyat sehingga bisa duduk dengan nyaman dan santai di kursi empuk tapi dikenal dengan “kursi panas”. Menurut saya supaya anggota DPRD tidak terjebak dan tidak masuk dalam perangkap jaring “Pokir” yang jelas-jelas memandulkan tugas dan kewenangan anggota DPRD untuk membahas dan menetapkan anggaran dan melaksanakan fungsi pengawasan, sehingga anggota DPRD tidak selalu tetap dilabeli dengan istilah “Macan Ompong” yang tentu sudah dimengerti oleh publik. Maka menurut saya pemerintah pusat harus mengeluarkan kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap besaran pendapatan anggota DPRD dengan anggota DPR demi mewujudkan APBD yang adil, efektif, efisien dan berpihak kepada masyarakat marginal dan termarginal.
Karena keberadaan dana pokir sebagai ajang transaksional politik anggaran antara eksekutif dengan legislatif yang keras dan kritis serta “licin”, maka tidak semua anggota DPRD Provinsi NTB yang mempunyai kemampuan berani, tegas, kritis dan “licin”, karena masih banyak juga anggota DPRD NTB yang masih “Bodoh” sehingga tidak mempunyai kemampuan bergaining politik terhadap konfigurasi politik anggaran eksekutif, maka tentu akan mendapatkan jatah dana pokir yang sangat kecil, sedangkan bagi anggota DPRD Provinsi NTB yang mempunyai kemampuan berani, tegas, kritis dan “licin” tentu akan mendapatkan dana pokir yang sangat besar dan jika dibandingkan lagi dengan dana pokir pimpinan dewan yang sangat bombastis dengan nilai hampir 48 milyart, sedangkan untuk anggota hanya dialokasikan mayoritas senilai 3 M, maka konfigurasi politik anggaran eksekutif menimbulkan kecemburuan sosial dan politik, karena sangat tidak adil dan tidak proporsional dan selalu akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan di internal anggota dan pimpinan Dewan.
Pada akhir penyampaiannya TGH. NAJAMUDIN MUSTAFA mengatakan “dengan kebijakan politik anggaran yang diskriminatif, tidak adil dan tidak proporsional tersebut, maka akan berdampak terhadap pembangunan dan kemajuan demokrasi, karena bagaimana tidak bagi anggota dan/atau pimpinan yang mendapat alokasi dana pokir yang sangat bombastis tersebut pasti akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik pada waktu Pemilihan Umum, dengan menghambur-hamburkan bantuan dalam bentuk program kepada masyarakat pemilih dengan imbalan agar dipilih pada waktu pemilihan suara atau pencoblosan, sehingga nasif mereka akan selalu mujur dan langgeng seumur hidupnya menjadi anggota DPRD, lalu bagaimana dengan anggota DPRD yang mendapat alokasi dana pokir sangat kecil, tentu akan tersingkir dalam pesta demokrasi 5 (lima) tahunan tersebut, karena kalah jauh bersaing dengan kekuatan financial dan kekuatan program. Sehingga sulit terjadi regenerasi walau masih banyak dari kalangan masyarakat yang sebenarnya jauh lebih layak dan mumpuni sebagai anggota DPRD, namun karena tidak mempunyai modal financial dan program untuk melakukan “money politik” maka impian menjadi anggota DPRD untuk memperjuangan nasif rakyat hanya sebatas isapan jempol belaka atau hanya mimpi disiang bolong dan oleh karena itu untuk membangun dan mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang sejatinya keberadaan dana pokir sebagai sumber pembiayaan (money politik) bagi anggota DPRD yang masih bercokol menghianati aspirasi masyarakat harus ditiadakan dan sangat tidak mendidik generasi penerus kita, karena bukan rahasia lagi kalau anggota DPRD selalu mengumpulkan pundi-pundi kos politik dengan cara memperjual belikan program-program yang bersumber dari dana pokir”.(Red).