Oleh :
H. HULAIN,SH.
Direktur LCW
Dalam pengelolaan keuangan Negara, maka sudah sepatutnya rakyat mendapatkan porsi utama dalam penyusunan Anggaran Negara baik APBN maupun APBD. Mengapa rakyat perlu mendapatkan perhatian khusus dan porsi utama dalam penyusunan APBN/APBD ?. Ada beberapa alasan rakyat berhak terlibat dan mendapatkan porsi alokasi anggaran yang rasional dan proposional dari APBD yaitu; Pertama, Rakyat merupakan penyumbang utama sumber penerimaan dalam APBN/APBD melalui pajak dan Retribusi, bahkan sumber penerimaan yang berasal dari hutang pun, kebutuhan rakyat jualah yang dipresentasikan pada pihak ketiga. Kedua, Sesuai hakekat dan fungsi Anggaran, rakyat merupakan tujuan utama yang akan disejahterakan. Ketiga, Amanah Konstitusi pasal 23 UUD 45, dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa rakyat berhak untuk ikut dalam penyusunan dan pengambilan keputusan Anggaran. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Keuangan Negara dan Kepmendagri.
Implementasi hak rakyat dalam APBD bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Pemerintah daerah sebagai pemegang kuasa pengelolaan Keuangan daerah harus mengimplementasikan hak rakyat tersebut melalui : Pertama, Adanya keterlibatan rakyat secara partisipatif dalam proses perencanaan anggaran. Teknis pelaksanaannya bisa menggunakan beberapa model atau melakukan kreasi dari berbagai model yang telah dikembangkan oleh beberapa daerah. Tentu saja, kreatifitas ini perlu didukung oleh iklim demokrasi yang substantif liberatif. Selama ini, partisipasi hanya menjadi jargon pemerintah, metode dan implementasi partisipasi hanya berjalan dalam lingkungan masyarakat yang “dekat“ dengan Pemerintah.
Sementara, dengan kelompok masyarakat yang kritis dan “jauh“ dengan Pemerintah, dijadikan formalitas belaka dan masukan serta hasil kajian mereka selalu dikesampingkan, bahkan terkesan dianggap MUSUH yang harus disingkirkan dan dimusnahkan. Memang, partisipasi tidak dapat dilakukan pada orang perorang atau semua kelompok, karena keterbatasan pemerintah, tetapi, semestinya pemerintah harus memiliki sebuah kriteria yang jelas dalam pelibatan publik. Kriteria ini harus didukung oleh metodelogi yang tepat sehingga tidak terjebak pada inefesiensi. Metodelogi mengalang partisipasi ini, yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Mereka hanya mengikuti secara tekstual apa yang tertulis di UU, Kepmendagri. Sangatlah naif, mengharapkan hasil yang efektif jika partisipasi dibangun melalui RT, Dusun, Lingkungan, Kelurahan, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Karena hampir seluruh badan tersebut dipilih dengan intervensi pemerintah. Sehingga, badan-badan tersebut tidak bisa merumuskan kebutuhan warganya. Perlu kearifan menyusun metodelogi agar partisipasi masyarakat bisa efektif untuk kepentingan bersama.
Kedua, Adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan maupun pertanggung jawaban APBD pada Rakyat. Selama ini, mekanisme pertanggung jawaban dilakukan melalui saluran formal Lembaga Legislatif (DPRD). Jika ingin membangun transparansi, maka harus dimulai dari para pihak yang akan terlibat dari proses tersebut. Dengan tidak mengkerdilkan peran DPRD dalam proses transparansi dan Akuntabilitas APBD, tetapi Lembaga ini juga menjadi sorotan dalam transparansi dan Akuntabilitas. Bagaimana bisa berharap pada DPRD, yang dalam banyak kasus korupsi APBD, justu beberapa oknum juga terlibat, bahkan terkadang menjadi inisiator. Perlu kiranya Pemerintah Daerah merancang sebuah model transparansi dan akuntabilitas APBD selain melalui saluran formal (DPRD), bisa dilakukan melalui saluran informal langsung pada masyarakat. Tentu, model ini harus dikaji dan dipertimbangkan dengan matang, sehingga bisa efektif dan sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
Ketiga, Adanya hak untuk alokasi anggaran yang pro rakyat miskin. Keadilan dan kesejahteraan, adalah tujuan utama dari sebuah negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Indonesia telah mengproklamirkan diri sebagai negara kesejahteraan. Artinya keberpihakan pada kaum lemah dan miskin menjadi prioritas dalam pembangunan yang dilakukan. Namun sayangnya, doktrin tersebut belum terwujud, masih sebatas angan-angan. Memang, banyak kendala untuk memuwujudkan tujuan tersebut, karena perlu didukung oleh infrastruktur dan suprastruktur yang memadai. Tetapi, langkah menuju kearah tujuan tersebut, sampai sekarang tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat saja, Anggaran Negara (APBN/APBD), masih lebih besar mensubsidi kepentingan kelompok pengusaha dan Para tokoh. Subsisdi BBM dicabut, dialihkan pada subsidi langsung atau bentuk lain seperti Pendidikan dan Kesehatan. Tetapi saat yang sama, pemerintah memberikan subsisdi dana Perbankan yang sangat fantastis, itu saja belum cukup, masih ada subsidi dalam bentuk lain, misalnya menaikkan suku Bank Indonesia, tax holiday, penjaminan Reksadana dll. Sungguh, ini luar biasa dibandingkan dengan subsidi untuk rakyat miskin yang selama ini dikampanyekan oleh Pemerintah.
Keempat, Adanya pengawasan APBN/APBD oleh rakyat baik secara perseorangan maupun secara Lembaga atau kelompok. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini semestinya mendapat apresiasi positif dari pemerintah. Caranya adalah memberikan akses seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendapatkan informasi, data dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan APBN/APBD.